Agar puasa Ramadhan diterima Allah, maka harus dilandasi dengan niat yang ikhlas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Setiap amal tergantung pada niat. Seseorang hanya mendapat apa yang ia niatkan” (HR. Bukhari)
Berdasarkan hadits ini, Ibnu Hajar Al Asqalani mengutip penjelasan Syaikhul Islam bahwa semua perbuatan tergantung kepada niatnya. Sebagaimana lanjutan hadits ini yang menjelaskan tentang diterima dan sia-sianya hijrah karena niat, demikian pula seluruh amal lainnya.
Puasa Ramadhan juga demikian. Jika niatnya ikhlas, maka puasanya diterima. Jika niatnya tidak karena Allah, maka puasanya tidak diterima.
Maka keutamaan puasa Ramadhan berupa ampunan terhadap dosa sebelumnya juga hanya bisa didapatkan jika niatnya ikhlas karena Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa puasa Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kapan Niat Puasa Ramadhan
Niat puasa, menurut Prof Dr Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu, maknanya adalah keinginan secara umum (al iradah al kulliyah). Sehingga niat dari malam hari tetap dianggap sah dan niat tidak disyaratkan harus berbarengan dengan terbitnya fajar. Bahkan menurut madzhab Syafi’i, niat puasa Ramadhan berbarengan dengan terbitnya fajar tidak sah.
Karena sulitnya menepatkan niat puasa menjelang terbitnya fajar, maka niat puasa Ramadhan boleh dilakukan pada malam hari, boleh pula pada waktu sahur. Yang tidak boleh jika niat dilakukan setelah terbitnya fajar. Berbeda dengan puasa sunnah yang niatnya boleh dilakukan saat pagi.
Haruskah Niat Dilafalkan?
Semua ulama sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Niat dengan hanya mengucapkan di lisan belum dianggap cukup. Melafalkan niat bukanlah suatu syarat. Artinya, tidak harus melafalkan niat. Namun menurut jumhur ulama selain madzhab Maliki, hukumnya sunnah dalam rangka membantu hati menghadirkan niat.
Sedangkan dalam madzhab Maliki, yang terbaik adalah tidak melafalkan niat karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Lafal Niat Puasa
Dalam madzhab Syafi’i, kesempurnaan niat puasa Ramadhan adalah dengan lafal niat sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ الشَّهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Nawaitu shouma ghodin ‘an adaa-i fardhisy syahri romadhoona hadzihis sanati lillaahi ta’aala
“Aku niat puasa pada hari esok untuk melaksanakan kewajiban bulan Ramadhan tahu ini karena Allah Ta’ala”
Sedangkan menurut Madzhab Hambali, siapa yang hatinya terbersit keinginan bahwa besok akan puasa, maka itu sudah dianggap niat.
Also Read/Baca Juga:
Silahkan komentar dengan bijak dan sopan, salam silaturahmi