Cerita
Rakyat Nanggroe Aceh Darussalam
Banta Berensyah adalah seorang anak
laki-laki yatim dan miskin. Ia sangat rajin bekerja dan selalu bersabar dalam
menghadapi berbagai hinaan dari pamannya yang bernama Jakub. Berkat kerja keras
dan kesabarannya menerima hinaan tersebut, ia berhasil menikah dengan seorang
putri raja yang cantik jelita dan dinobatkan menjadi raja. Bagaimana kisahnya?
Ikuti cerita Banta Berensyah berikut ini!
Alkisah, di sebuah
dusun terpencil di daerah Nanggro Aceh Darussalam, hiduplah seorang janda
bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Banta Berensyah. Banta Berensyah
seorang anak yang rajin dan mahir bermain suling. Kedua ibu dan anak itu
tinggal di sebuah gubuk bambu yang beratapkan ilalang dan beralaskan dedaunan
kering dengan kondisi hampir roboh. Kala hujan turun, air dengan leluasa masuk
ke dalamnya. Bangunan gubuk itu benar-benar tidak layak huni lagi. Namun apa
hendak dibuat, jangankan biaya untuk memperbaiki gubuk itu, untuk makan
sehari-hari pun mereka kesulitan.Untuk bertahan hidup, ibu dan anak itu menampi
sekam di sebuah kincir padi milik saudaranya yang bernama Jakub. Jakub adalah
saudagar kaya di dusun itu. Namun, ia terkenal sangat kikir, loba, dan tamak.
Segala perbuatannya selalu diperhitungkan untuk mendapatkan keuntungan sendiri.
Terkadang ia hanya mengupahi ibu Banta Berensyah dengan segenggam atau dua
genggam beras. Beras itu hanya cukup dimakan sehari oleh janda itu bersama
anaknya.
Pada suatu hari, janda
itu berangkat sendirian ke tempat kincir padi tanpa ditemani Banta Berensyah,
karena sedang sakit. Betapa kecewanya ia saat tiba di tempat itu. Tak seorang
pun yang menumbuk padi. Dengan begitu, tentu ia tidak dapat menampi sekam dan
memperoleh upah beras. Dengan perasaan kecewa dan sedih, perempuan paruh baya
itu kembali ke gubuknya. Setibanya di gubuk, ia langsung menghampiri anak
semata wayangnya yang sedang terbaring lemas. Wajah anak itu tampak pucat dan
tubuhnya menggigil, karena sejak pagi perutnya belum terisi sedikit pun
makanan.
“Ibu…! Banta lapar,” rengek Banta Berensyah.
Janda itu hanya
terdiam sambil menatap lembut anaknya. Sebenarnya, hati kecilnya teriris-iris
mendengar rengekan putranya itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena
tidak ada sama sekali makanan yang tersisa. Hanya ada segelas air putih yang
berada di samping anaknya. Dengan perlahan, ia meraih gelas itu dan
mengulurkannya ke mulut Banta Berensyah. Seteguk demi seteguk Banta Berensyah
meminum air dari gelas itu sebagai pengganti makanan untuk menghilangkan rasa
laparnya. Setelah meminum air itu, Banta merasa tubuhnya sedikit mendapat
tambahan tenaga. Dengan penuh kasih sayang, ia menatap wajah ibunya. Lalu,
perlahan-lahan ia bangkit dari tidurnya seraya mengusap air mata bening yang
keluar dari kelopak mata ibunya.
“Kenapa ibu menangis?” tanya Banta dengan
suara pelan.
Mulut perempuan paruh
baya itu belum bisa berucap apa-apa. Dengan mata berkaca-kaca, ia hanya
menghela nafas panjang. Banta pun menatap lebih dalam ke arah mata ibunya.
Sebenarnya, ia mengerti alasan kenapa ibunya menangis.
“Bu! Banta tahu mengapa Ibu meneteskan air
mata. Ibu menangis karena sedih tidak memperoleh upah hari ini,” ungkap Banta.
“Sudahlah, Bu! Banta tahu, Ibu sudah
berusaha keras mencari nafkah agar kita bisa makan. Barangkali nasib baik belum
berpihak kepada kita,” bujuknya.
Mendengar ucapan Banta
Berensyah, perempuan paruh baya itu tersentak. Ia tidak pernah mengira
sebelumnya jika anak semata wayangnya, yang selama ini dianggapnya masih kecil
itu, ternyata pikirannya sudah cukup dewasa. Dengan perasaan bahagia, ia
merangkul tubuh putranya sambil meneteskan air mata. Perasaan bahagia itu
seolah-olah telah menghapus segala kepedihan dan kelelahan batin yang selama
ini membebani hidupnya.
“Banta, Anakku! Ibu bangga sekali
mempunyai anak sepertimu. Ibu sangat sayang kepadamu, Anakku,” ucap Ibu Banta
dengan perasaan haru.
Kasih sayang dan
perhatian ibunya itu benar-benar memberi semangat baru kepada Banta Berensyah.
Tubuhnya yang lemas, tiba-tiba kembali bertenaga. Ia kemudian menatap wajah
ibunya yang tampak pucat. Ia sadar bahwa saat ini ibunya pasti sedang lapar.
Oleh karena itu, ia meminta izin kepada ibunya hendak pergi ke rumah pamannya,
Jakub, untuk meminta beras. Namun, ibunya mencegahnya, karena ia telah memahami
perangai saudaranya yang kikir itu.
“Jangan, Anakku! Bukankah kamu tahu
sendiri kalau pamanmu itu sangat perhitungan. Ia tentu tidak akan memberimu
beras sebelum kamu bekerja,” ujar Ibu Banta.
“Banta mengerti, Bu! Tapi, apa salahnya
jika kita mencobanya dulu. Barangkali paman akan merasa iba melihat keadaan
kita,” kata Banta Berensyah.
Berkali-kali ibunya
mencegahnya, namun Banta Berensyah tetap bersikeras ingin pergi ke rumah
pamannya. Akhirnya, perempuan yang telah melahirkannya itu pun memberi izin.
Maka berangkatlah Banta Berensyah ke rumah pamannya. Saat ia masuk ke
pekarangan rumah, tiba-tiba terdengar suara keras membentaknya. Suara itu tak
lain adalah suara pamannya.
“Hai, anak orang miskin! Jangan mengemis
di sini!” hardik saudagar kaya itu.
“Paman, kasihanilah kami! Berikanlah kami
segenggam beras, kami lapar!” iba Banta Berensyah.
“Ah, persetan dengan keadaanmu itu. Kalian
lapar atau mati sekalian pun, aku tidak perduli!” saudagar itu kembali
menghardiknya dengan kata-kata yang lebih kasar lagi.
Betapa kecewa dan
sakitnya hati Banta Berensyah. Bukannya beras yang diperoleh dari pamannya,
melainkan cacian dan makian. Ia pun pulang ke rumahnya dengan perasaan sedih
dan kesal. Tak terasa, air matanya menetes membasahi kedua pipinya.
Dalam perjalanan
pulang, Banta Berensyah mendengar kabar dari seorang warga bahwa raja di sebuah
negeri yang letaknya tidak berapa jauh dari dusunnya akan mengadakan sayembara.
Raja negeri itu mempunyai seorang putri yang cantik jelita nan rupawan. Ia
bagaikan bidadari yang menghimpun semua pesona lahir dan batin. Kulitnya sangat
halus, putih, dan bersih. Saking putihnya, kulit putri itu seolah-olah tembus
pandang. Jika ia menelan makanan, seolah-olah makanan itu tampak lewat
ditenggorokannya. Itulah sebabnya ia diberi nama Putri Terus Mata. Setiap
pemuda yang melihat kecantikannya pasti akan tergelitik hasratnya untuk
mempersuntingnya. Sudah banyak pangeran yang datang meminangnya, namun belum
satu pun pinangan yang diterima. Putri Terus Mata akan menerima lamaran bagi
siapa saja yang sanggup mencarikannya pakaian yang terbuat dari emas dan suasa.
Mendengar kabar itu,
Banta Berensyah timbul keinginannya untuk mengandu untung. Ia berharap dengan
menikah dengan sang Putri, hidupnya akan menjadi lebih baik. Siapa tahu ia
bernasib baik, pikirnya. Ia pun bergegas pulang ke gubuknya untuk menemui
ibunya. Setibanya di gubuk, ia langsung duduk di dekat ibunya. Sambil
mendekatkan wajahnya yang sedikit pucat karena lapar, Banta Berensyah
menyampaikan perihal hasratnya mengikuti sayembara tersebut kepada ibunya. Ia
berusaha membujuk ibunya agar keinginannya dikabulkan.
“Bu!
Banta sangat sayang dan ingin terus hidup di samping ibu. Ibu telah berusaha
memberikan yang terbaik untuk Banta. Kini Banta hampir beranjak dewasa. Saatnya
Banta harus bekerja keras memberikan yang terbaik untuk Ibu. Jika Ibu merestui
niat tulus ini, izinkanlah Banta merantau untuk mengubah nasib hidup kita!”
pinta Banta Berensyah.
Perempuan paruh baya
itu tak mampu lagi menyembunyikan kekagumannya kepada anak semata wayangnya
itu. Ia pun memeluk erat Banta dengan penuh kasih sayang.
“Banta, Anakku! Kamu adalah anak yang
berbakti kepada orangtua. Jika itu sudah menjadi tekadmu, Ibu mengizinkanmu
walaupun dengan berat hati harus berpisah denganmu,” kata perempuan paruh baya
itu.
“Tapi, bagaimana kamu bisa merantau ke
negeri lain, Anakku? Apa bekalmu di perjalanan nanti? Jangankan untuk ongkos
kapal dan bekal, untuk makan sehari-hari pun kita tidak punya,” tambahnya.
“Ibu tidak perlu memikirkan masalah itu.
Cukup doa dan restu Ibu menyertai Banta,” kata Banta Berensyah.
Setelah mendapat restu
dari ibunya, Banta Berensyah pun pergi ke sebuah tempat yang sepi untuk memohon
petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah semalam suntuk berdoa dengan
penuh khusyuk, akhirnya ia pun mendapat petunjuk agar membawa sehelai daun
talas dan suling miliknya ke perantauan. Daun talas itu akan ia gunakan untuk
mengarungi laut luas menuju ke tempat yang akan ditujunya. Sedangkan suling itu
akan ia gunakan untuk menghibur para tukang tenun untuk membayar biaya kain
emas dan suasa yang dia perlukan.
Keesokan harinya, usai
berpamitan kepada ibunya, Banta Berensyah pun pergi ke rumah pamannya, Jakub.
Ia bermaksud meminta tumpangan di kapal pamannya yang akan berlayar ke negeri
lain. Setibanya di sana, ia kembali dibentak oleh pamannya.
“Ada apa lagi kamu kemari, hai anak
malas!” seru sang Paman.
“Paman! Bolehkah Ananda ikut berlayar
sampai ke tengah laut?” pinta Banta Berensyah.
Jakub tersentak
mendengar permintaan aneh dari Banta Berensyah. Ia berpikir bahwa kemanakannya
itu akan bunuh diri di tengah laut. Dengan senang hati, ia pun mengizinkannya.
Ia merasa hidupnya akan aman jika anak itu telah mati, karena tidak akan lagi
datang meminta-minta kepadanya. Akhirnya, Banta Berensyah pun ikut berlayar
bersama pamannya. Begitu kapal yang mereka tumpangi tiba di tengah-tengah
samudra, Banta meminta kepada pamannya agar menurunkannya dari kapal.
“Paman! Perjalanan Nanda bersama Paman
cukup sampai di sini. Tolong turunkan Nanda dari kapal ini!” pinta Banta
Betensyah.
Saudagar kaya itu pun
segera memerintahkan anak buahnya untuk menurunkan Banta ke laut. Namun sebelum
diturunkan, Banta mengeluarkan lipatan daun talas yang diselempitkan di balik
pakaiannya. Kemudian ia membuka lipatan daun talas itu seraya duduk bersila di
atasnya. Melihat kelakuan Banta itu, Jakub menertawainya.
“Ha… ha… ha…! Dasar anak bodoh!” hardik
saudagar kaya itu.
“Pengawal! Turunkan anak ini dari kapal!
Biarkan saja dia mati dimakan ikan besar!” serunya.
Namun, betapa
terkejutnya saudagar kaya itu dan para anak buahnya setelah menurunkan Banta
Berensyah ke laut. Ternyata, sehelai daun talas itu mampu menahan tubuh Banta
Berensyah di atas air. Dengan bantuan angin, daun talas itu membawa Banta
menuju ke arah barat, sedangkan pamannya berlayar menuju ke arah utara.
Setelah berhari-hari
terombang-ambing di atas daun talas dihempas gelombang samudra, Banta Berensyah
tiba di sebuah pulau. Saat pertama kali menginjakkan kaki di pulau itu, ia
terkagum-kagum menyaksikan pemandangan yang sangat indah dan memesona. Hampir
di setiap halaman rumah penduduk terbentang kain tenunan dengan berbagai motif
dan warna sedang dijemur. Rupanya, hampir seluruh penduduk di pulau itu adalah
tukang tenun.
Banta pun mampir ke
salah satu rumah penduduk untuk menanyakan kain emas dan suasa yang sedang
dicarinya. Namun, penghuni rumah itu tidak memiliki jenis kain tersebut. Ia pun
pindah ke rumah tukang tenun di sebelahnya, dan ternyata si pemilik rumah itu
juga tidak memilikinya. Berhari-hari ia berkeliling kampung dan memasuki rumah
penduduk satu persatu, namun kain yang dicarinya belum juga ia temukan. Tinggal
satu rumah lagi yang belum ia masuki, yaitu rumah kepala kampung yang juga
tukang tenun.
“Tok… Tok… Tok.. ! Permisi, Tuan!” seru
Banta Berensyah setelah mengetuk pintu rumah kepala kampung itu.
Beberapa saat kemudian,
seorang laki-laki paruh baya membuka pintu dan mempersilahkannya masuk ke dalam
rumah.
“Ada yang bisa kubantu, Anak Muda?” tanya
kampung itu bertanya.
Setelah memperkenalkan
diri dan menceritakan asal-usulnya, Banta pun menyampaikan maksud
kedatangannya.
“Maaf, Tuan! Kedatangan saya kemari ingin
mencari kain tenun yang terbuat dari emas dan suasa. Jika Tuan memilikinya,
bolehkah saya membelinya?” pinta Banta Berensyah.
Kepala kampung itu
tersentak kaget mendengar permintaan Banta, apalagi setelah melihat penampilan
Banta yang sangat sederhana itu.
“Hai, Banta! Dengan apa kamu bisa membayar
kain emas dan suasa itu? Apakah kamu mempunyai uang yang cukup untuk membayarnya?”
“Maaf, Tuan! Saya memang tidak mampu
membayarnya dengan uang. Tapi, jika Tuan berkenan, bolehkah saya membayarnya
dengan lagu?” pinta Banta Berensyah seraya mengeluarkan sulingnya.
Melihat keteguhan hati Banta Berensyah
hendak memiliki kain tenun tersebut, kepala kampung itu kembali bertanya
kepadanya.
“Banta! Kalau boleh saya tahu, kenapa kamu
sangat menginginkan kain itu?”
Banta pun menceritakan
alasannya sehingga ia harus berjuang untuk mendapatkan kain tersebut. Karena
iba mendengar cerita Banta, akhirnya kepala kampung itu memenuhi permintaannya.
Dengan keahliannya, Banta pun memainkan sulingnya dengan lagu-lagu yang merdu.
Kepala kampung itu benar-benar terbuai menikmati senandung lagu yang dibawakan
Banta. Setelah puas menikmatinya, ia pun memberikan kain emas dan suasa
miliknya kepada Banta.
“Kamu sangat mahir bermain suling, Banta!
Kamu pantas mendapatkan kain emas dan suasa ini,” ujar kepala kampung itu.
“Terima kasih, Tuan! Banta sangat
berhutang budi kepada Tuan. Banta akan selalu mengingat semua kebaikan hati
Tuan,” kata Banta.
Setelah mendapatkan
kain emas dan suasa tersebut, Banta pun meninggalkan pulau itu. Ia berlayar
mengarungi lautan luas menuju ke kampung halamannya dengan menggunakan daun
talas saktinya. Hati anak muda itu sangat gembira. Ia tidak sabar lagi ingin
menyampaikan berita gembira itu kepada ibunya dan segera mempersembahkan kain
emas dan suasa itu kepada Putri Terus Mata.
Namun, nasib malang
menimpa Banta. Ketika sampai di tengah laut, ia bertemu dan ikut dengan kapal
Jakub yang baru saja pulang berlayar dari negeri lain. Saat ia berada di atas
kapal itu, kain emas dan suasa yang diperolehnya dengan susah payah dirampas
oleh Jakub. Setelah kainnya dirampas, ia dibuang ke laut. Dengan perasaan
bangga, Jakub membawa pulang kain tersebut untuk mempersunting Putri Terus
Mata.
Sementara itu, Banta
yang hanyut terbawa arus gelombang laut terdampar di sebuah pantai dan
ditemukan oleh sepasang suami-istri yang sedang mencari kerang. Sepasang suami-istri
itu pun membawanya pulang dan mengangkatnya sebagai anak. Setelah beberapa lama
tinggal bersama kedua orang tua angkatnya tersebut, Banta pun memohon diri
untuk kembali ke kampung halamannya menemui ibunya dengan menggunakan daun
talas saktinya. Setiba di gubuknya, ia pun disambut oleh ibunya dengan perasaan
suka-cita. Kemudian, Banta pun menceritakan semua kejadian yang telah
dialaminya.
“Maafkan Banta, Bu! Sebenarnya Banta telah
berhasil mendapatkan kain emas dan suasa itu, tetapi Paman Jakub merampasnya,”
Banta bercerita kepada ibunya dengan perasaan kecewa.
“Sudahlah, Anakku! Ibu mengerti
perasaanmu. Barangkali belum nasibmu mempersunting putri raja,” ujar Ibunya.
“Tapi, Bu! Banta harus mendapatkan kembali
kain emas dan suasa itu dari Paman. Kain itu milik Banta,” kata Banta dengan
tekad keras.
“Semuanya sudah terlambat, Anakku!” sahut
ibunya.
“Apa maksud Ibu berkata begitu?” tanya
Banta penasaran.
“Ketahuilah, Anakku! Pamanmu memang
sungguh beruntung. Saat ini, pesta perkawinannya dengan putri raja sedang
dilangsungkan di istana,” ungkap ibunya.
Tanpa berpikir
panjang, Banta segera berpamitan kepada ibunya lalu bergegas menuju ke tempat
pesta itu dilaksanakan. Namun, setibanya di kerumunan pesta yang berlangsung
meriah itu, Banta tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai bukti untuk
menunjukkan kepada raja dan sang Putri bahwa kain emas dan suasa yang
dipersembahkan Jakub itu adalah miliknya. Sejenak, ia menengadahkan kedua
tangannya berdoa meminta pertolongan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Begitu ia
selesai berdoa, tiba-tiba datanglah seekor burung elang terbang berputar-putar
di atas keramaian pesta sambil berbunyi.
“Klik.. klik… klik… kain emas dan suasa
itu milik Banta Berensyah…!!! Klik… klik.. klik… kain emas dan suasa itu milik
Banta Berensyah…!!!” demikian bunyi elang itu berulang-ulang.
Mendengar bunyi elang
itu, seisi istana menjadi gempar. Suasana pesta yang meriah itu seketika menjadi
hening. Bunyi elang itu pun semakin jelas terdengar. Akhirnya, Raja dan Putri
Terus Mata menyadari bahwa Jakub adalah orang serakah yang telah merampas milik
orang lain. Sementara itu Jakub yang sedang di pelaminan mulai gelisah dan
wajahnya pucat. Karena tidak tahan lagi menahan rasa malu dan takut mendapat
hukuman dari Raja, Jakub melarikan diri melalui jendela. Namun, saat akan
meloncat, kakinya tersandung di jendela sehingga ia pun jatuh tersungkur ke
tanah hingga tewas seketika.
Setelah peristiwa itu,
Banta Berensyah pun dinikahkan dengan Putri Terus Mata. Pesta pernikahan mereka
dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam dengan sangat meriah. Tidak berapa
lama setelah mereka menikah, Raja yang merasa dirinya sudah tua menyerahkan
jabatannya kepada Banta Berensyah. Banta Berensyah pun mengajak ibunya untuk
tinggal bersamanya di istana. Akhirnya, mereka pun hidup berbahagia bersama
seluruh keluarga istana.
Demikian cerita
dongeng Banta Berensyah dari daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia.
Sedikitnya ada dua pelajaran penting yang dapat dipetik dari kisah di atas.
Pertama, orang yang senantiasa berusaha dan bekerja keras, pada akhirnya akan
memperoleh keberhasilan. Sebagaimana ditunjukkan oleh perilaku Banta Berensyah,
berkat kerja keras dan kesabarannya, ia berhasil mempersunting putri raja dan
menjadi seorang raja. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda cahaya mata,
rajin
dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya
kelak hidupmu sejahtera
Pelajaran kedua yang dapat dipetik dari
cerita di atas adalah bahwa orang kaya yang kikir dan serakah seperti Jakub,
pada akhirnya akan mendapat balasan yang setimpal. Ia tewas akibat
keserakahannya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
apa tanda orang tamak,
karena
harta marwah tercampak
Silahkan komentar dengan bijak dan sopan, salam silaturahmi