KH. Abdullah
Gymnastiar
Orang yang pasti tidak
nyaman dalam keluarga, orang yang pasti tidak tentram dalam bertetangga, orang
yang pasti tidak nikmat dalam bekerja adalah orang-orang yang paling busuk
hatinya. Yakinlah, bahwa semakin hati penuh kesombongan, semakin hati suka
pamer, ria, penuh kedengkian, kebencian, akan habislah seluruh waktu produktif
kita hanya untuk meladeni kebusukan hati ini. Dan sungguh sangat berbahagia
bagi orang-orang yang berhati bersih, lapang, jernih, dan lurus, karena memang
suasana hidup tergantung suasana hati. Di dalam penjara bagi orang yang berhati
lapang tidak jadi masalah. Sebaliknya, hidup di tanah lapang tapi jikalau
hatinya terpenjara, tetap akan jadi masalah.
Salah satu yang harus dilakukan
agar seseorang terampil bening hati adalah kemampuan menyikapi ketika orang
lain berbuat salah. Sebab, istri kita akan berbuat salah, anak kita akan
berbuat salah, tetangga kita akan berbuat salah, teman kantor kita akan berbuat
salah, atasan di kantor kita akan berbuat salah karena memang mereka bukan
malaikat. Namun sebenarnya yang jadi masalah bukan hanya kesalahannya, yang
jadi masalah adalah bagaimana kita menyikapi kesalahan orang lain.
Sebetulnya sederhana sekali
tekniknya, tekniknya adalah tanya pada diri, apa sih yang paling diinginkan
dari sikap orang lain pada diri kita ketika kita berbuat salah ?! Kita sangat
berharap agar orang lain tidak murka kepada kita. Kita berharap agar orang lain
bisa memberitahu kesalahan kita dengan cara bijaksana. Kita berharap agar orang
lain bisa bersikap santun dalam menikapi kesalahan kita. Kita sangat tidak
ingin orang lain marah besar atau bahkan mempermalukan kita di depan umum.
Kalaupun hukuman dijatuhkan, kita ingin agar hukuman itu dijatuhkan dengan adil
dan penuh etika. Kita ingin diberik kesempatan untuk memperbaiki diri. Kita
juga ingin disemangati agar bisa berubah. Nah, kalau keinginan-keinginan ini
ada pada diri kita, mengapa ketika orang lain berbuat salah, kita malah mencaci
maki, menghina, memvonis, memarahi, bahkan tidak jarang kita mendzalimi ?!
Ah, Sahabat. Seharusnya
ketika ada orang lain berbuat salah, apalagi posisi kita sebagai seorang
pemimpin, maka yang harus kita lakukan adalah dengan bersikap sabar pangkat
tiga. Sabar, sabar, dan sabar. Artinya, kalau kita jadi pemimpin, dalam skala
apapun, kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa? Karena yang dipimpin, dalam
skala apapun, kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa ? Karena yang dipimpin
kualitas pribadinya belum tentu sesuai dengan yang memimpin. Maka, seorang
pemimpin yang tidak siap dikecewakan dia tidak akan siap memimpin.
Oleh karena itu, andaikata
ada orang melakukan kesalahan, maka sikap mental kita, pertama, kita harus
tanya apakah orang berbuat salah ini tahu atau tidak bahwa dirinya salah ?
Kenapa ada orang yang berbuat salah dan dia tidak mengerti apakah itu suatu
kesalahan atau bukan. Contoh yang sederhana, ada seorang wanita dari desa yang
dibawa ke kota
untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ketika hari-hari pertama bekerja,
dia sama sekali tidak merasa bersalah ketika kran-kran air di kamar mandi,
toilet, wastafel, tidak dimatikan sehingga meluber terbuang percuma, mengapa ?
Karena di desanya pancuran air untuk mandi tidak ada yang pakai kran, di
desanya tidak ada aturan penghematan air, di desanya juga tidak ada kewajiban
membayar biaya pemakaian air ke PDAM, sebab di desanya air masih begitu
melimpah ruah. Tata nilai yang berbeda membuat pandangan akan suatu kesalahan
pun berbeda. Jadi, kalau ada orang yang berbuat salah, tanya dululah, dia tahu
tidak bahwa ini sebuah kesalahan.
Lalu, kalau dia belum tahu
kesalahannya, maka kita harus memberi tahu, bukannya malah memarahi, memaki,
dan bahkan mendzalimi. Bagaimana mungkin kita memarahi orang yang belum tahu
bahwa dirinya salah, seperti halnya, bagaimana mungkin kita memarahi anak kecil
yang belum tahu tata nilai perilaku orang dewasa seumur kita ? Misal, di rumah
ada pembantu yang umurnya baru 24 tahun, sedangkan kita umurnya 48 tahun,
hampir separuhnya. Bagaimana mungkin kita menginginkan orang lain sekualitas
kita, sama kemampuannya dengan kita, sedangkan kita berbuat begini saja sudah
rentang ilmu begitu panjang yang kita pelajari, sudah rentang pengalaman begitu
panjang pula yang kita lalui.
Sebuah pengalaman, dulu
ketika pulang sehabis diopname beberapa hari di rumah sakit karena diuji dengan
sakit. Saat tiba di rumah, ada kabar tidak enak, yaitu omzet toko milik
pesantren menurun drastis! Meledaklah kemarahan, "Kenapa ini santri
bekerja kok enggak sungguh-sungguh ? Lihat akibatnya, kita semua jadi rugi!
Pimpinan sakit harusnya berjuang mati-matian!".
Baca Juga :
Tapi
alhamdulillah, istri mengingatkan, "Sekarang ini Aa umur 32 tahun, santri
yang jaga umurnya 18 tahun. Bedanya saja 14 tahun, bagaimana mungkin kita
mengharapkan orang lain melakukan seperti apa yang mampu kita lakukan saat ini,
sementara dia ilmunya, kemampuannya, dan juga pengalamannya masih terbatas?!
Mungkin dia sudah melakukan yang terbaik untuk seusianya. Bandingkan dengan
kita pada usia yang sama, bisa jadi ketika kita berumur 18 tahun, mungkin kita
belum mampu untuk jaga toko". Subhanallah, pertolongan ALLAH datang dari
mana saja. Oleh karena itu, kalau melihat orang lain berbuat salah, lihat
dululah, apakah dia ini tahu atau tidak bahwa yang dilakukannya ini suatu
kesalahan. Kalau toh dia belum tahu bukannya malah dimarahi, tapi diberi tahu
kesalahannya, "De', ini salah, harusnya begini".
Maka tahap pertama adalah
memberitahu orang yang berbuat salah dari tidak tahu kesalahannya menjadi tahu
dimana letak kesalahan dirinya. Selalu kita bantu orang lain mengetahui
kesalahannya.
Tahap kedua, kita bantu
orang tersebut mengetahui jalan keluarnya, karena ada orang yang tahi itu suatu
masalah, tapi dia tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya? Maka, posisi
kita adalah membantu orang yang berbuat salah mengetahui jalan keluarnya. Hal
yang menarik, ketika dulu zaman pesantren masih sederhana, ketika masih berupa
kost-kostan mahasiswa, muncul suata masalah di kamar paling pojok yang dihuni
seorang santri mahasiswi, yaitu seringnya bocor ketika hujan turun, "Wah,
ini massalah nih, tiap hujan kok bocor lagi, bocor lagi". Dia tahu ini
masalah, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Kita harus bantu,
tapi bantuan kita yang paling bagus adalah bukan menyelesaikan masalah, tapi
membantu dia supaya bisa menyelesaikan masalahnya. Sebab, bantuan itu ada yang
langsung menyelesaikan masalah, namun kelemahan bantuan ini, yaitu ketika kita
membantu orang dan kita menyelesaikannya, ujungnya orang ini akan nyantel terus,
ia akan punya ketergantungan kepada kita, dan yang lebih berbahaya lagi kita
akan membunuh kreatifitasnya dalam menyelesaikan suatu masalah. Bantuan yang
terbaik adalah memberikan masukan bagaimana cara memperbaiki kesalahan.
Dan tahap yang ketiga adalah
membantu orang yang berbuat salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki
kesalahan dirinya. Ini lebih menyelesaikan masalah daripada mencaci, memaki,
menghina, mempermalukan, karena apa? Karena anak kita adalah bagian dari diri
kita, istri kita adalah bagian dari keluarga kita, saudara-saudara kita adalah
bagian dari khazanah kebersamaan kita, kenapa kita harus penuh kebencian,
kedengkian, menebar kejelekan, ngomongin kejelekan, apalagi dengan
ditambah-tambah, dibeberkan aib-aibnya, bagaimana ini ? Lalu, apa yang berharga
pada diri kita ? Padahal, justru kalau kita melihat orang lain salah, maka
posisi kita adalah ikut membantu memperbaiki kesalahannya.
Nah, Sahabat. Selalulah yang
kita lakukan adalah berusaha membantu agar orang yang berbuat salah mampu
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Membantu orang yang berbuat salah
mengetahui bahwa yang dilakukannya adalah suatu kesalahan. Membantu orang yang
berbuat salah agar ia tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahannya. Dan
membantu orang yang berbuat salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki
kesalahan dirinya.
Melihat orang yang belum
shalat, justru harus kita bantu dengan mengingatkan dia tentang pentingnnya
shalat, membantu mengajarinya tata cara shalat yang benar, membantu dengan
mengajaknya supaya dia tetap bersemangat untuk melaksanakan shalat secara
istiqamah. Lihat pemabuk, justru harus kita bantu supaya pemabuk itu mengenal
bahayanya mabuk, membantu mengenal bagaimana cara menghentikan aktivitas mabuk.
Artinya, selalulah posisikan diri kita dalam posisi siap membantu. Walhasil,
orang-orang yang pola pikirnya selalu rindu untuk membantu memperbaiki
kesalahan orang lain, dia tidak akan pernah benci kepada siapapun. Tentu saja
ini lebih baik, dibanding orang yang hanya bisa meremehkan, mencela, menghina,
dan mencaci. Padahal orang lain berbuat kesalahan, dan kita pun sebenarnya
gudang kesalahan.
Baca Juga :
Silahkan komentar dengan bijak dan sopan, salam silaturahmi